Rabu, 19 Januari 2011

Latar Belakang Perkawinan dengan Aisyah dan Hafsha

Dalam Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husein Haikal disebutkan bahwa sebagai berikut: Adapun Aisyah dan Hafsha adalah puteri-puteri dua orang pembantu dekatnya, Abu Bakar dan Umar. Segi inilah yang membuat Muhammad mengikatkan diri dengan kedua orang itu dengan ikatan semenda perkawinan dengan puteri-puteri mereka. Sama juga halnya ia mengikatkan diri dengan Usman dan Ali dengan jalan mengawinkan kedua puterinya kepada mereka. Kalaupun benar kata orang mengenai Aisyah serta kecintaan Muhammad kepadanya itu, maka cinta itu timbul sesudah perkawinan, bukan ketika kawin.

Gadis itu dipinangnya kepada orangtuanya tatkala ia berusia sembilan tahun dan dibiarkannya dua tahun sebelum perkawinan dilangsungkan (perkawinan di usia minimal 11 tahun). Logika tidak akan menerima kiranya, bahwa dia sudah mencintainya dalam usia yang masih begitu kecil. Hal ini diperkuat lagi oleh perkawinannya dengan Hafsha binti Umar yang juga bukan karena dorongan cinta berahi, dengan ayahnya sendiri sebagai saksi. Namun oleh para orientalis, usia perkawinan Aisah ini diputarbalikkan menjadi fitnah yang sangat keji.

"Sungguh," kata Umar, "tatkala kami dalam zaman jahiliah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Baru setelah Tuhan memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka.

Kita sudah melihat bukan, bahwa Muhammad mengawini Aisyah atau mengawini Hafsha bukan karena cintanya atau karena suatu dorongan berahi, tapi karena hendak memperkukuh tali masyarakat Islam yang baru tumbuh dalam diri dua orang pembantu dekatnya (Abu Bakar dan Umar) itu. Sama halnya ketika ia kawin dengan Sauda, maksudnya supaya pejuang-pejuang Muslimin itu mengetahui, bahwa kalau mereka gugur untuk agama Allah, isteri-isteri dan anak-anak mereka tidak akan dibiarkan hidup sengsara dalam kemiskinan.

Perkawinannya dengan Janda-Janda

Perkawinannya dengah Zainab bt. Khuzaima dan dengan Umm Salama mempertegas lagi hal itu. Zainab adalah isteri 'Ubaida bin'l-Harith bin'l-Muttalib yang telah mati syahid, gugur dalam perang Badr. Dia tidak cantik, hanya terkenal karena kebaikan hatinya dan suka menolong orang, sampai ia diberi gelar Umm'l-Masakin (Ibu orang-orang miskin). Umurnya pun sudah tidak muda lagi. Hanya setahun dua saja sesudah itu ia pun meninggal. Sesudah Khadijah dialah satu-satunya isteri Nabi yang telah wafat mendahuluinya.

Kemudian peristiwa-peristiwa sejarah serta logikanya juga menjadi saksi yang jujur mendustakan cerita misi-misi penginjil dan para Orientalis itu sehubungan dengan poligami Nabi. Seperti kita sebutkan tadi, selama 28 tahun ia hanya beristerikan Khadijah seorang, tiada yang lain. Setelah Khadijah wafat, ia kawin dengan Sauda bint Zam'a, janda Sakran b. 'Amr b. 'Abd Syams. Tidak ada suatu sumber yang menyebutkan, bahwa Sauda adalah seorang wanita yang cantik, atau berharta atau mempunyai kedudukan yang akan memberi pengaruh karena hasrat duniawi dalam perkawinannya itu.

Melainkan soalnya ialah, Sauda adalah isteri orang yang termasuk mula-mula dalam lslam, termasuk orang-orang yang dalam membela agama, turut memikul pelbagai macam penderitaan, turut berhijrah ke Abisinia setelah dianjurkan Nabi hijrah ke seberang lautan itu. Sauda juga sudah Islam dan ikut hijrah bersama-sama, ia juga turut sengsara, turut menderita. Kalau sesudah itu Muhammad kemudian mengawininya untuk memberikan perlindungan hidup dan untuk memberikan tempat setarap dengan Umm'l-Mu'minin, maka hal ini patut sekali dipuji dan patut mendapat penghargaan yang tinggi.

Sedang Umm Salama sudah banyak anaknya sebagai isteri Abu Salama, seperti sudah disebutkan di atas, bahwa dalam perang Uhud ia menderita luka-luka, kemudian sembuh kembali. Oleh Nabi ia diserahi pimpinan untuk menghadapi Banu Asad yang berhasil di kucar-kacirkan dan ia kembali ke Medinah dengan membawa rampasan perang. Tetapi bekas lukanya di Uhud itu terbuka dan kembali mengucurkan darah yang dideritanya terus sampai meninggalnya. Ketika sudah di atas ranjang kematiannya, Nabi juga hadir dan terus mendampinginya sambil mendoakan untuk kebaikannya, sampai ia wafat. Empat bulan setelah kematiannya itu Muhammad meminta tangan Umm Salama.

Tetapi wanita ini menolak dengan lemah lembut karena ia sudah banyak anak dan sudah tidak muda lagi. Hanya dalam pada itu akhirnya sampai juga ia mengawini dan dia sendiri yang bertindak menguruskan dan memelihara anak-anaknya.

Adakah sesudah ini semua para misi penginjil dan Orientalis itu masih akan mendakwakan, bahwa karena kecantikan Umm Salama itulah maka Muhammad terdorong hendak mengawininya?

Kalau hanya karena itu saja, masih banyak gadis-gadis kaum Muhajirin dan Anshar yang lain, yang jauh lebih cantik, lebih muda, lebih kaya dan bersemarak, dan tidak pula ia akan dibebani dengan anak-anaknya. Akan tetapi sebaliknya, ia mengawininya itu karena pertimbangan yang luhur itu juga, sama halnya dengan perkawinannya dengan Zainab binti. Khuzaima, yang membuat kaum Muslimin bahkan makin cinta kepadanya dan membuat mereka lebih-lebih lagi memandangnya sebagai Nabi dan Rasul Allah. Di samping itu mereka semua memang sudah menganggapnya sebagai ayah mereka. Ayah bagi segenap orang miskin, orang yang tertekan, orang lemah, orang yang sengsara dan tak berdaya. Ayah bagi setiap orang yang kehilangan ayah, yang gugur membela agama Allah.

Dari riwayat tersebut di atas, terlihat bahwa usia 6 tahun menikah adalah fitnah. Yang benar adalah 9 tahun di pinang dan 2 tahun kemudian dinikahi (11 tahun menikah). Jadi memutar angka 6 dan 9 adalah teknik pengkaburan angka sang ide pembuat keji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar